Oleh: KH Syamsul Yakin
Waketum MUI Kota Depok
Secara eksplisit, Allah memberi titah agar kita tidak menukar dunia dengan akhirat. Hal itu termaktub dalam makna ayat, “Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong” (QS. al-Baqarah/2: 86).
Maksud penggal pertama ayat ini, “membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”, menurut pengarang kitab Tafsir Jalalain, adalah mengutamakan dunia ketimbang akhirat.
Sebagai bukti perbuatan itu, Syaikh Nawawi dalam kitab Tafsir Munir berargumentasi, bahwa mereka memilih kekafiran (dengan mengutamakan dunia) ketimbang keimanan (dengan menelantarkan akhirat).
Sementara itu, yang Allah maksud dengan frasa, “itulah orang-orang” tak lain adalah orang-orang Yahudi baik yang hidup pada masa Nabi Musa maupun Nabi Muhammad di Madinah. Jadi ayat ini memiliki munasabah (korelasi) dengan ayat-ayat sebelumnya.
Tampak jelas orang-orang Yahudi bergaya hidup hedonis dan konsumtif. Atau meminjam bahasa Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mereka lebih senang memilih kehidupan dunia ketimbang kehidupan akhirat. Padahal kehidupan dunia itu menipu dan temporer, sementara kehidupan akhirat itu permanen.
Tentu ada sifat orang-orang Yahudi yang bergelanyut di dada umat agama lain, seperti umat Nabi Muhammad. Andaikata itu terjadi, maka tak ayal ayat ini berlaku juga buat kita.
Untuk penggal berikutnya, yakni, “maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”, maksudnya, tulis pengarang kitab Tafsir Jalalain, orang-orang Yahudi tidak akan mampu menghindar dari siksa yang mendera mereka.
Artinya, sambung Ibnu Katsir, tidak ada seorang pun penolong yang dapat menyelamatkan orang-orang Yahudi. Di samping itu, menurut Syaikh Nawawi, siksa yang mendera mereka tidak ada putus-putusnya. Dalam satu waktu tertentu tidak pernah mendapat keringanan atau remisi.
Jadi tidak benar kalau mereka mengaku akan disiksa di neraka beberapa hari saja.*