Oleh: KH. Syamsul Yakin
Waketum MUI Kota Depok
Tentang Mukjizat Nabi Musa terurai dalam makna ayat, “Sesungguhnya Musa telah datang kepadamu membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat)” (QS. al-Baqarah/2: 92).
Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mukjizat adalah tanda-tanda yang jelas dan bukti-bukti yang tak bisa dipungkiri kebenarannya. Mukjizat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Musa adalah utusan Allah.
Di antara mukjizat Nabi Musa, tulis pengarang kitab Tafsir Jalalain, terletak pada tongkat, tangan dan terbelahnya lautan.
Sementara, Syaikh Nawawi dalam kitab Tafsir Munir melengkapinya. Menurut ulama asal Banten yang dikenal masyarakat internasional ini, mukjizat Nabi Musa ada sembilan. Yakni, tongkat, tangan, paceklik, kekurangan buah-buahan, darah, banjir, belalang, kutu, katak, dan terbelahnya laut.
Ibnu Katsir menambahkannya dengan awan yang menaungi, dikirimnya manna (madu) dan salwa (burung puyuh), batu, dan lain sebagainya. Semua mukjizat itu, kata Ibnu Katsir, disaksikan sendiri oleh mata kepala pengikut Nabi Musa.
Kendati begitu banyak mukjizat Nabi Musa yang dipersaksikan Allah, namun mereka tetap kufur. Allah tegaskan, “Kemudian kamu jadikan anak sapi (sebagai sesembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim” (QS. al-Baqarah/2: 92).
Makna “orang-orang yang zalim” dalam ayat ini, bagi Syaikh Nawawi, adalah orang-orang kafir disebabkan mereka menjadikan patung anak sapi sebagai sesembahan. Kezaliman mereka bukan hanya selepas kepergian Nabi Musa, tapi saat masih bersama beliau.
Pada zaman kiwari ini, tampaknya ada pergeseran model beragama dari umat Nabi Muhammad kepada umat Nabi Musa yang memerlukan mukjizat. Untuk memperteguh keyakinan perlu bukti atau semacam mukjizat, padahal itu bukan karakter umat Nabi Muhammad.
Mukjizat umat Nabi Muhammad adalah al-Qur’an. Itu sudah cukup.*
