Oleh: KH. Syamsul Yakin
Dai LDDA Kota Depok
Ayat sebelumnya dan ayat berikut ini mengusung tema astronomi. Kembali Allah memberi pelajaran, “Kemudian, lihatlah sekali lagi (dan) sekali lagi (untuk mencari cela dalam ciptaan Allah), niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih (karena tidak menemukannya)” (QS. al-Muluk/67: 4).
Menurut Syaikh Nawawi, Allah kembali menyuruh manusia untuk mengarahkan pandangannya ke langit berkali-kali. Tentu perintah ini memiliki beragam tujuan. Salah satunya, sebagai upaya penelitian tentang kesempurnaan tujuh lapis langit yang tanpa cela, cacat, dan retak.
Khitaab atau yang menjadi sasaran seruan dalam ayat ini adalah manusia secara umum dan peneliti astronomi secara khusus. Dalam penelitian, upaya mengulangi dan memperhatikan suatu objek merupakan bagian dari pengumpulan data yang akan diolah dan dianalisa untuk kemudian dibuat kesimpulan sementara. Kesimpulan sementara ini yang akan mengarahkan peneliti untuk dapat membuktikannya.
Dalam konteks tujuh lapis langit ini, peneliti akan sampai pada kesimpulan akhir bahwa tujuh lapis langit itu berdiri tegak seimbang, tanpa kontradiksi, perbedaan, kekurangan, kelemahan, dan cacat. Kendati, misalnya, penelitian itu dilakukan berkali-kali. Inilah makna penggalan makna ayat, “dalam ciptaan Allah), niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih (karena tidak menemukannya)”.
Kalau dibedah secara rinci ayat di atas, makna “karataini” menurut Ibnu Katsir serupa dengan kata “marataini” yang berarti sekali lagi atau berkali-kali. Atau menunjukkan intensitas yang banyak. Artinya, bagi al-Maraghi, para peneliti tidak akan menemukan kesimpangsiuran dan cacat yang dicari. Sementara makna “niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kecewa dan dalam keadaan letih (karena tidak menemukannya)” memberi indikasi peneliti tidak mampu menemukan yang dicari sampai mata payah.
Kepayahan atau keletihan ini terjadi, dalam pandangan Syaikh Nawawi, lantaran peneliti terlalu sering menunduk dan menengadah. Atau bisa juga dipahami, seperti diungkap al-Maraghi, akibat sering melihat dan memandang dalam instensitas tinggi, rasa payah seolah mengusir penglihatan itu sendiri.
Jadi penyebab tidak ditemukannya cacat pada tujuh lapis langit ada dua. Pertama, memang benar-benar tidak cacat pada tujuh lapis langit yang menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah. Kedua, karena keletihan dan kepayahan mata peneliti yang sering mengobservasi objek dengan intensitas tinggi, seperti sering melihat, menunduk dan menengadah.
Apalagi pada ayat itu, Allah memberi informasi bahwa pandangan mata peneliti itu “khaasi’an”. Arti kata ini, menurut al-Zuhaili, adalah kecil, hina, dan tidak dapat menemukan cela dan cacat pada objek yang dilihat, dalam hal ini adalah tujuh lapis langit.*